Adab Bersama ilmu – Bagian ke 1

Mari Belajar Adab Lebih Luas

بسم الله.. الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله.

Pembahasan kita kali ini adalah termasuk perkara yang penting diketahui oleh setiap penuntut ilmu yakni yang terkait dengan :

ᗩᗞᗩᗷ ᗞᗩしᗩᗰ Ꮖしᗰᑌ

Diantara adab yang terkait dengan topik ini adalah :

1. Tidak Mencampur Adukkan Antara Yang Haq dan Bathil

Wajib penuntut ilmu untuk memuliakan ilmu ini, dengan cara tidak mencampur adukkan ilmu yang shahih yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah dengan ilmu yang bathil dan bid’ah yang berasal dari kitab-kitab sesat seperti filsafat dan lainnya.

Allah Ta’ala berfirman :

(وَلَا تَلۡبِسُوا۟ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتَكۡتُمُوا۟ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ)

Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.
_______
[Surat Al-Baqarah 42]

Diantara tujuan dari ilmu yang teragung adalah agar mampu dengan ilmu itu membedakan antara yang haq dan bathil.

Lalu bagaimana tujuan ini akan tercapai jika ia mencampur adukkan antara ilmu yang haq dan ilmu yang bathil

Dengan demikian termasuk PENYIMPANGAN ADAB DALAM ILMU
orang yang menyamakan antara majelis bathil dan majelis ilmu yang shahih, sebagaimana seseorang yang menimba ilmu dari ahli bid’ah sekaligus ia juga menimba ilmu dari ahli sunnah. Maka ini menunjukkan KURANGNYA ADAB DALAM ILMU.

Berkata Imam Al Auza’i rahimahullah ketika ada yang bertanya kepada beliau :

إنَّ رجلاً يقول: أنا أجالس أهل السنة وأجالس أهل البدع
Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berkata : Saya bermajelis dengan ahlus sunnah dan juga bermajelis dengan ahli bid’ah.

Maka beliau menjawab

: “هذا رجل يريد أن يساوي بين الحق والباطل”
“Orang ini, ingin menyamakan antara yang haq dan yang bathil”
___
Al Ibanah 3/466 karya Ibnu Baththah

Benar apa yang beliau katakan, begitulah keadaannya orang-orang yang mengambil ilmu dari sekolah -sekolah dan perguruan tinggi liberal yang mengajarkan paham ingkar sunnah, merendahkan dan menghina syariat Allah, bahkan mengajarkan kekufuran semisal pluralisme, berbaur dan ikhtilath antara mahasiswanya, maka bagaimana mungkin ia akan mengerti bagaimana beradab kepada ilmu syar’i? Lalu bagaimana mungkin ia akan memahami kebenaran? Bahkan bagaimana mungkin ia dikatakan sebagai orang yang beradab, sedangkan ia telah melanggar Firman Allah Ta’ala :

(وَإِذَا رَأَیۡتَ ٱلَّذِینَ یَخُوضُونَ فِیۤ ءَایَـٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ یَخُوضُوا۟ فِی حَدِیثٍ غَیۡرِهِۦۚ وَإِمَّا یُنسِیَنَّكَ ٱلشَّیۡطَـٰنُ فَلَا تَقۡعُدۡ بَعۡدَ ٱلذِّكۡرَىٰ مَعَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّـٰلِمِینَ)

“Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zhalim.”

_______

[Surat Al-An’am 68]

Berkata Syaikh Bakar Abi zaid rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal menjadi panduan dan rujukan dalam perkara ADAB-ADAB PENUNTUT ILMU yakni kitab HILYAH THOLIBIL ‘ILMI :

“فيا أيها الطالب إذا كنت في السعة والاختيار، فلا تأخذ عن مبتدع: رافضي، أو خارجي، أو مرجئ، أو قدري، أو قبوري، … ” .

Wahai para penuntut ilmu, jika engkau berada dalam kondisi yang lapang dan mampu untuk memilih maka JANGANLAH ENGKAU MENGAMBIL ILMU DARI MUBTADI’: seperti pengikut Rafidhah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah atau Penyembah Kubur.

Berkata Syekh Al Utsaimin menjelaskan perkataan Syekh Bakar Abi zaid diatas :

ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻛﻼﻡ المصنف ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﻋﻦ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺷﻲﺀ ﺣﺘﻰ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺒﺪﻋﺘﻪ .

ﻓﻤﺜﻼً ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﻧﺎ ﺭﺟﻼً ﻣﺒﺘﺪﻋﺎً، ﻟﻜﻨﻪ ﺟﻴﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ : ﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﻭﺍﻟﻨﺤﻮ ﻭﺍﻟﺼﺮﻑ . ﻓﻬﻞ ﻧﺠﻠﺲ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﻧﺄﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﻫﺬ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺟﻴﺪ ﻓﻴﻪ ﺃﻡ ﻧﻬﺠﺮﻩ؟

ﻇﺎﻫﺮ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﻧﻨﺎ ﻻ ﻧﺠﻠﺲ ﺇﻟﻴﻪ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﻮﺟﺐ ﻣﻔﺴﺪﺗﻴﻦ :
ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻏﺘﺮﺍﺭﻩ ﺑﻨﻔﺴﻪ ، ﻓﻴﺤﺴﺐ ﺃﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺣﻖ .
ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﺍﻏﺘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻪ ، ﺣﻴﺚ ﻳﺘﻮﺍﺭﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻳﺘﻠﻘﻮﻥ ﻣﻨﻪ، ﻭﺍﻟﻌﺎﻣﻲ ﻻ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ .
ﻟﻬﺬﺍ ﻧﺮﻯ ﺃﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻻ ﻳﺠﻠﺲ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻷﻫﻮﺍﺀ ﻣﻄﻠﻘﺎً ، ﺣﺘﻰ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺠﺪ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﻭﺍﻟﺼﺮﻑ ﺇﻻ ﻓﻴﻬﻢ، ﻓﺴﻴﺠﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺧﻴﺮﺍً ﻣﻨﻪ، ﻷﻧﺎ ﻛﻮﻧﻨﺎ ﻧﺄﺗﻲ ﻟﻬﺆﻻﺀ ﻭﻧﺘﺮﺩﺩ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻻ ﺷﻚ ﺃﻧﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﻏﺮﻭﺭﻫﻢ ﻭﺍﻏﺘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻬﻢ
وهنا ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻠﻘﻲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻨﺪ ﻣﻌﻠﻢ ﻣﺒﺘﺪﻉ ؟
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻻ ﻳﻘﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ

Yang tampak zhahir dari perkataan pengarang kitab adalah bahwa sesungguhnya tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah sama sekali, walaupun dalam bidang yang tidak berkaitan dengan bid’ahnya

Misalnya: kita menjumpai seorang mubtadi’ yang bagus dalam bidang ilmu Bahasa Arab, balaghah, nahwu dan sharaf.

Jika ada yang bertanya apakah kita akan duduk bermajelis dengannya dan belajar kepadanya pada bidang ilmu yang dia menguasainya dengan baik itu atau yang dia sebarkan itu?!

Yang nampak dari perkataan Syaikh kita tidak boleh bermajelis dengannya, karena hal itu akan menyebabkan dua kerusakan:

Kerusakan pertama adalah :

Tertipunya orang itu sendiri dengan keadaan dirinya karena dia akan menyangka bahwa dia di atas kebenaran.

Sedangkan kerusakan kedua adalah :

Tertipunya manusia dengan orang itu, karena melihat para penuntut ilmu berdatangan kepadanya dan belajar kepadanya. Padahal orang awam itu tidak bisa membedakan antara ilmu nahwu dan akidah.

Oleh karena inilah maka kami memandang bahwa seseorang tidak boleh duduk bermajelis mengambil ilmu kepada ahli bid’ah secara mutlak walaupun sampai keadaannya hingga seseorang misalnya tidak menjumpai ilmu Bahasa Arab, balaghah dan sharaf, kecuali pada ahli bid’ah itu.

Maka semoga Allah akan memberikan kebaikan untuknya.

Disebabkan dengan kita mendatangi mereka dan bolak-balik ke tempat mereka tidak diragukan lagi hal itu akan menyebabkan mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan manusia pun akan ikut tertipu dengan mereka.

Disini terdapat satu masalah lagi :

“Bolehkah mempelajari Al Qur’an dari guru seorang ahli bid’ah ?”

Jawabanya adalah:
Tidak boleh belajar darinya
______
Kitab Syarh Hilyah Tholibil ‘Ilmi hal. 138

Berkata Imam Ibnu Sirin rahimahullahu :

إن هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم

“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah darimana kalian mengambil agama kalian.”
______
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Muqoddimah Shahihnya).

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata :

و قال أيضا –الذهبي– رحمه الله تعالى: وقرأت بخط الشيخ الموفق قال: سمعنا درسه –أي ابن أبي عصرون– مع أخي أبي عمر وانقطعنا فسمعت أخي يقول: دخلت عليه بعد, فقال: لما انقطعتم عني؟ قلت: إن الناس يقولون إنك أشعري, فقال: والله ما أنا أشعري. هذا معني الحكاية.

“Imam adz-Dzahabi rahimahullahu juga berkata : Saya membaca tulisan Syaikh al-Muwafiq (Muwafiqudin Ibnu Qudamah), beliau berkata, ‘Saya dan saudaraku Abu ‘Umar mengikuti kajian yang diajarkan oleh Ibnu Abi Ashrun, namun akhirnya kami tidak mengikuti pelajarannya lagi’.

Lalu saya mendengar saudaraku berkata: ‘Setelah itu saya menemuinya dan dia berkata, ‘kenapa kalian tidak lagi mengikuti pelajaranku?’

Saya jawab: ‘Sesungguhnya saya dengar orang-orang berkata bahwa anda adalah seorang Asy’ariy’, maka dia berkata: ‘Demi Alloh saya bukan Asy’ariy’. Demikianlah ceritanya.”

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkomentar :

يستفاد أنك لا ينبغي أن تجلس لمبتدع ولو كانت بدعته خفيفة كبدعة الأشعرية

“Dapat dipetik faidah (dari kisah ini) bahwasanya tidak sepatutnya bagi anda duduk bermajlis (belajar) kepada ahli bid’ah walaupun kebid’ahannya itu bid’ah yang sepele semacam bid’ah Asy’ariyah.”
______
Kitab Syarh Hilyah Tholibil ‘Ilmi hal. 138

Renungan
____

Apabila Imam Ibnu Qudamah dan saudaranya saja tidak mau bermajlis dengan orang yang tertuduh Asy’ariy padahal kenyataannya orang tersebut menolak tuduhan tersebut. Hal ini menunjukkan kehati-hatian para imam tersebut di dalam menimba ilmu.

Kesimpulan
_____

Hendaklah seorang penuntut ilmu memiliki adab yang agung ini, dan janganlah ia sampai merendahkan ilmu syar’i ini dengan cara mencampuradukkan yang haq dan yang bathil, sunnah dengan bid’ah, yakni ketika ia menimba ilmu dari ahli bid’ah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al Auza’i diatas.

Bersambung

Related Posts

Leave a Reply

× Hubungi Kami di Whatsapp