Niat Yang Baik Tidak Akan Mengubah Hakikat Sebuah Kezhaliman Dan Kebathilan Menjadi Sebuah Kebaikan

 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله . أما بعد
Kaedah yang telah ma’ruf dan diakui disisi Ahlis Sunnah adalah, bahwa setiap niat dan tujuan yang baik maka wajib menempuh cara yang baik dan benar pula agar sampai kepada niat dan tujuan yang baik tadi :
لا بد من شرف الغاية وطهارة الوسيلة معاً
Tujuan yang mulia dan wasilah yang suci itu mesti ada secara bersamaan
Yakni tujuan yang baik mengharuskan adanya cara dan wasilah yang baik juga karena keduanya adalah perkara yang tak mungkin terpisahkan. Misalnya seseorang yang ingin membantu faqir miskin, membangun masjid dan kebaikan lainnya, maka mesti ia menggunakan wasilah yang halal dan cara yang dibenarkan syari’at untuk mewujudkan niat baiknya tersebut. Karena itu tidak halal baginya merampas tanah orang lain walau dengan tujuan untuk membangun masjid, sebagaimana haram baginya mencuri dan menipu dengan alasan membantu fakir miskin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Sesungguhnya Allah itu Maha Baik,tidak akan menerima kecuali yang baik
____________
Shahih muslim : 1015
Berkata Imam An Nawawi rahimahullah :
وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى الْإِنْفَاقِ مِنَ الْحَلَالِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْإِنْفَاقِ مِنْ غَيْرِهِ
Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berinfaq dari sesuatu yang halal dan melarang berinfaq dari sesuatu selain yang halal
_____________
Syarah Shahih Muslim

Karena itu, tujuan yang baik mesti dengan cara yang baik pula yang sesuai dengan tuntunan syari’at, sebab semata-mata niat yang baik saja tidak menjadi alasan untuk bisa membenarkan cara bathil yang ditempuh untuk itu :
شرْف الغايةِ لاَ يسوغُ استعمال الوسيلةِ المحرمةِ
Tujuan yang mulia tidak membolehkan penggunaan wasilah yang diharamkan
Dan jika kita umpamakan tujuan yang mulia dan niat yang baik itu adalah untuk berdakwah, maka tidak dibenarkan dakwah itu ditegakkan dengan cara yang zhalim dan bathil, dan mesti dakwah itu ditegakkan dengan cara yang benar pula.
Tidak dibenarkan dengan alasan berdakwah seseorang misalnya, melakukan mudahanah sehingga ia ikut serta dalam sebagian kebid’ahan dan kebathilan dengan alasan ingin memperbaiki secara perlahan dari dalam.
Atau tidak dibolehkan seseorang melakukan kecurangan dan pengkhianatan serta merampas apa yang menjadi hak seseorang meskipun dengan tujuan untuk dakwah dan kebaikan. Karena yang memegang prinsip :
“الغاية تبرر الوسيلة”
Tujuan itu membenarkan segala cara
Adalah prinsipnya diktator dan orang-orang yang zhalim.
Yakni, asal tujuan tercapai tidak peduli walau dengan cara yang haram sekalipun, maka ini bukanlah caranya ahlus sunnah, bahkan ini adalah caranya hizbiyyah dan para pembuat kerusakan dan kezhaliman. Tidak bernilai sedikitpun dalam pandangan syari’at bagaimanapun niat baik pelakunya jika ternyata cara yang ditempuh adalah sesuatu yang ditentang oleh syari’at itu sendiri :
حسن النية لا تبرر سوء العمل
“Baiknya niat tidak akan membuat amal yang buruk menjadi benar”
Niat bertaqarrub kepada Allah tidak otomatis membuat seseorang lantas berada diatas kebenaran
عَن أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»
Dari Anas bin Malik radhiaiallahu ‘anhu berkata; Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”
_____________________________
Shahih Al Bukhari 5063
Dalam hadits diatas terdapat dalil, bahwa walaupun sebuah perbuatan itu diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala namun jika caranya menyelisihi syari’at maka tetap perbuatan tidak akan mendapatkan pemebenaran dalam syari’at ini, bahkan dicela pelakunya meski bagaimanapun baik niatnya.
Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah kisah bid’ah dzikir bersama yang muncul dizaman para shahabat, dimana para pemuda pelaku dzikir jama’i ini dibantah oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ
“Celaka kalian wahai umat Muhammad,!! Alangkah cepatnya masa kehancuran kalian, padahal mereka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih banyak bertebaran, dan ini baju beliau belum lagi usang, juga bejananya belum lagi pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangan-Nya, sesungguhnya kaliankah yang berada diatas agama yang lebih baik dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ataukah sebenarnya kalian adalah para pembuka pintu kesesatan ??!”
Lalu para pemuda ini pun mencoba mencari pembenaran dengan cara berhujjah dengan niat dan tujuan mereka yang baik, maka mereka menjawab :
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ
‘Demi Allah wahai Abu Abdur rahman kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’.

Namun jawaban Abdullah bin Mas’ud radhiyallhu ‘anhu menggugurkan hujjah mereka sampai ke akarnya :
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi ia tidak dapat mencapainya ”
______________
Musnad Darimi/210
Maka teranglah dalam manhaj yang haq ini, bahwa kebaikan niat saja tidak mencukupi untuk menyampaikan seseorang kepada kebenaran, karena mesti caranya dan wasilahnya juga sesuai dengan syari’at.
Kemudian contoh yang lain, seseorang yang ingin mendapatkan keutamaaan shaf yang pertama pada hari jum’at, namun ia dapati shaf telah penuh terisi, lalu ia pun menyuruh salah seorang yang ada di shaf pertama tersebut untuk berdiri dan pindah agar ia bisa menempati dan menggantikan posisi orang tersebut. Maka tentu saja ini adalah sebuah KEZHALIMAN dan bentuk KURANGNYA ADAB DAN AKHLAK disebabkan telah berlaku sewenang-wenang dan zhalim terhadap hak orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

«لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ»
“Janganlah seseorang orang lain berdiri dari tempat duduknya lalu iapun duduk disana”
____________
Hadits Muttafaq ‘Alaihi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma

Dan dalam shahih Al Bukhari ,berkata Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma :

«نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِيمَ الرَّجُلُ أَخَاهُ مِنْ مَقْعَدِهِ، وَيَجْلِسَ فِيهِ»
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh saudaranya berdiri dari tempat duduknya lalu iapun duduk disana”
_____________
Shahih Al Bukhari 911

Dengan demikian sebuah tempat adalah hak bagi orang yang ada disana sampai ia tidak membutuhkan lagi tempat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«إِذَا قَامَ الرَّجُلُ مِنْ مَجْلِسٍ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ»
“Jika seorang laki-laki bangun dari tempat duduknya kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak dengan tempat tersebut.”
___________________
Sunan Abi Daud 4853
«مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ»
“Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut”
___________
Mu’jam Al Kabir 814, Sunan Abu Daud 3071 , sanadnya dho’if namun maknanya shahih

Berkata Imam Al Qurthubiy rahimahullah :
نهيه صلى الله عليه وسلم عن أن يقام الرجل من مجلسه : إنما كان ذلك لأجل أن السّابق لمجلس قد اختصّ به ، إلى أن يقوم باختياره عند فراغ غرضه؛ فكأنه قد ملك منفعة ما اختصّ به من ذلك، فلا يجوز أن يحال بينه وبين ما يملكه. وعلى هذا فيكون النهي على ظاهره من التّحريم
“Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perbuatan menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya hanyalah karena sebab orang yang dahulu mendatangi satu tempat berarti itu menjadi khusus haknya sampai ia berdiri dengan pilihannnya sendiri ketika telah selesai keperluannya, maka seolah-olah ia memiliki hak manfaat dari tempat itu yang khusus menjadi haknya, karena itu tidak boleh menghalangi antara ia dan apa yang menjadi miliknya. Jadi berdasarkan hal ini maka larangan dalam hal ini zhahirnya termasuk bentuk pengharaman”
____________________
Al Mafham (5/509)
Dan berkata Syekh Al ‘Utsaimin rahimahullah :
نهى النبي صلى الله وسلم عن ذلك لأن فيه عدوانا على أخيه…من فوائد هذا الحديث: تحريم إقامة الرجل من مكانه ليجلس فيه؛ وجه ذلك : أن الأصل في النهي التحريم، ويؤيد التحريم أنه عدوان على الغير، والأصل في العدوان أنه حرام.ومن فوائد الحديث: أن الرجل أحق بمكانه ما دامت حاجته لم تنقض فلا يقام ، ويشمل هذا: المكان في المسجد، المكان في الدرس، المكان في موضع البيع والشراء، المكان في أي مكان هو أحق به ما لم يتركه… ”
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hal tersebut karena dalam perkara itu terdapat sikap sewenang-wenang terhadap saudaranya.Diantara faedah hadits ini adalah : pengharaman dari menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya agar ia bisa duduk disana. Sisi pengharamannnya adalah bahwa asal dari hukum larangan adalah haram, dan semakin menguatkan pengharamannya sebab hal itu adalah kesewenagan terhadap orang lain dan asal dari sikap sewenang-wenang hukumnya adalah haram. Kemudian diantara faedah dari hadits ini : bahwa seseorang lebih berhak atas tempatnya selama hajatnya belum selesai maka tidak boleh ia disuruh berdiri, dan mencakup dalam hal ini : tempat di Masjid,tempat dalam pembelajaran, tempat di lokasi jual beli, tempat di bagian manapun tempat tersebut maka ia lah yang berhak atasnya selama ia belum meninggalkannya”
____________________
Syarah Bulughul Maram (6/252-253)

Jika begini hukum dalam perkara tempat duduk ukuran 40 cm x40 cm, lalu bagaimana dengan yang lebih dari ini …??!
Berkata Imam Al Ghazali rahimahullah :
المعاصي لا تتغير إلى طاعات بالنية فلا ينبغي أن يفهم الجاهل ذلك من عموم قوله إنما الأعمال بالنيات فيظن أن المعصية تتقلب طاعة
Maksiat tidak akan berubah menjadi ketaatan hanya dengan niat, karena itu tidak layak orang yang jahil memiliki pemahaman seperti itu hanya bersandar dengan keumuman sabda nabi : ” Sesungguhnya Amal Itu Hanya Tergantung Dengan Niatnya” lalu orang yang jahil ini menyangka bahwa ma’shiyat akan berubah menjadi keta’atan
__________________
Al-Ihya’
Beliau rahimahullah juga berkata :
والنية لا تؤثر في إخراجه عن كونه ظلما وعدوانا بل قصده الخير بالشر على خلاف مقتضى الشرع شر آخر، فإن عرفه فهو معاند للشرع وإن جهله فهو عاص بجهله إذ طلب العلم فريضة على كل مسلم.

“Sedangkan niat tidak membawa pengaruh sedikitpun dalam mengeluarkan sesuatu dari keadaaannya sebagai sebuah kezhaliman dan kesewenangan, bahkan tujuannya untuk kebaikan tapi dengan cara menempuh keburukan (yang tentu saja) bertentangan dengan tuntutan syar’i merupakan keburukan yang lain. Maka jika ia mengetahui hal ini, berarti ia adalah orang yang sengaja menentang syari’at, namun jika ia bodoh (terhadap hukum ini) maka ia adalah orang durhaka sebab kebodohannya, maka jadilah ketika itu menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (yakni agar ia tidak terjatuh dalam kezhaliman akibat kejahilannya)”

Billahit Taufiq wal Hidayah

Related Posts

Leave a Reply

× Hubungi Kami di Whatsapp