Ringkasan Kajian Kitab “Syarah Ushul as Sunnah” – Pertemuan Kedua

Pertemuan Kedua

Kemudian Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan ushul/landasan berikutnya :

وَترْكُ الْبدَعِ وكلُّ بِدعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ

“dan meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah maka itu adalah sebuah kesesatan.”
———————

PENJELASAN

Apa yang beliau sebutkan disini sesuai dengan lanjutan hadits dari ‘Irbadh bin Sariyah sebelumnya :

“وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “

“Dan jauhilah olehmu perkara agama yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara agama yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”

——- Sunan Abi Daud (4607) dishahihkan oleh Syekh Albani

 

Dan dalam hadits tentang khutbatul hajah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ”

“dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bidah adalah sesat dan setiap sesat di dalam neraka.”

————-Sunan An Nasai no. 1578 dishahihkan oleh Syekh Albani

Meninggalkan bid’ah merupakan diantara prinsip pokok dalam beragama dimana tidaklah akan sempurna sikap mengikuti sunnah kecuali dengan meninggalkan bid’ah dan sebagaimana tidaklah akan sempurna tauhid kecuali dengan meninggalkan syirik.

Inilah uslub didalam wahyu, karena itulah kita dapati hal ini di dalam nash senantiasa berlaziman dan tidak terpisahkan. Tidaklah ada perintah untuk mentauhidkan Allah didalam Al Qur’an kecuali diikuti dengan larangan dari perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman :

﴿وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا …﴾

“Sembahlah Allah dan jangan persekutukan Dia dengan sesuatupun…”

——— Surat An Nisa’ : 36

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ…. فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu ……… Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui”

——— Al Baqarah ayat 21-22

Sebagaimana tidaklah ada perintah untuk mengikuti sunnah di dalam hadis kecuali diikuti dengan larangan atau ancaman dari berbuat bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

«فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي …………… وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ »

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku……..dan jauhilah olehmu perkara agama yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara agama yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”

Demikian pula didalam atsar, berkata shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :

“اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا ….”

“Ikutilah (sunnah) dan jangan berbuat bid’ah…”

——— Al Mu’jamul Kabir oleh Imam Ath Thabrani (8770) dan Al Ibanah oleh Imam Ibnu Baththah (174,175)

Dengan demikian dakwah menyeru manusia kepada tauhid agar mereka mengibadati Allah Tabaraka wa Ta’ala semata tidaklah akan sempurna kecuali diikuti dengan larangan dari berbuat syirik dan menjelaskan bentuk-bentuknya secara rinci serta bahayanya, sebagaimana juga tidak akan sempurna dakwah menyeru manusia kepada sunnah kecuali diikuti dengan larangan dari berbuat bid’ah serta menjelaskan bentuk-bentuknya secara rinci dan bahayanya, demikianlah yang menjadi prinsip dalam dakwah salafiyah ahlus sunnah wal jama’ah.

Makna/Pengertian Bid’ah

Bid’ah pengertiannya secara istilah adalah :

مَا أُحْدِثَ مِنَ الدِّينِ بعْدَ وفاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Apa saja yang diada-adakan dari perkara agama setelah wafatnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Ini nampakya yang dimaksud oleh Imam an Nawawi rahimahullah dalam perkataan beliau :

البدعة في الشرع: هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Bid’ah didalam perkara syar’i adalah : mengada-adakan perkara yang tidak ada dizaman (hidupnya) nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

————- Tahdzibul Asmaa’i wal Lughaat (3/22)

Sedangkan menurut Imam asy-Syathibi rahimahullah bid’ah adalah :

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ ِللهِ سُبْحَانَهُ.

“Bid’ah adalah sebuah cara baru dalam agama yang diada-adakan, menyerupai/menandingi syari’at, dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu.”

———- Al I’tisham oleh Imam Asy Syathibi

Unsur Pokok dari Bid’ah

Dari dua defenisi diatas kita bisa menyimpulkan bahwa bid’ah yang sesat yang dicela dalam syari’at memiliki beberapa unsur :

1. Sebuah metode dalam agama
Maka tidak termasuk dalam perkara bid’ah ini perkara yang diada-adakan dalam urusan dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ»

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan( agama) kami ini sesuatu perkara yang tidak ada didalamnya, maka perkara itu tertolak.”

——- Muttafaq ‘Alaihi

Perkara yang diada-adakan yang dilarang dan tertolak dalam hadits ini adalah perkara dalam pokok agama, adapun perkara dalam urusan dunia dan sarana wasail maka bukan itu yang dimaksud dalam hadits ini, karena nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah diutus untuk urusan dunia ini, akan tetapi beliau diutus untuk urusan agama dan akhirat , karena itu tidak ada manusia yang lebih mengetahui urusan agama dan akhirat ini kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam .

2. Terjadi setelah wafatnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Unsur yang kedua ini telah diisyaratkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku (meninggal) nanti akan menyaksikan banyaknya perselisihan (bid’ah).”

Berarti dalam hal ini, ijtihad shahabat dalam perkara ibadah di masa hidupnya nabi shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah bid’ah, selama tidak datang teguran atau larangan dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun hal itu dinamakan sunnah taqririyah. Seperti ijtihad seorang shahabat dalam i’tidal untuk membaca :

رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

“Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, (aku memuji-Mu ) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah.”

Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:

«مَنِ المُتَكَلِّمُ»

“Siapa yang mengucapkan kalimat itu?”

Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:

«رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ»

“Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berlomba-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya).”

—————– HR Al-Bukhari dari Rifa’ah bin Rafi radhiyallahu ‘anhu

3. Tidak ada dalil yang menjadi landasannya

Yakni tidak ia memiliki asal dalam Kitabullah dan Sunnah baik secara khusus maupun secara umum. Adapun ibadah, maka tidak dibolehkan berdalil dengan dalil yang umum, karena tidak ada satu ibadahpun dalam Islam kecuali telah datang dalil khusus yang menjadi dasarnya, maka tidak boleh berdasarkan dalil umum semata, karena para pelaku bid’ah mereka suka berdalil dengan dalil-dalil umum untuk mendukung amalan bid’ah mereka. Seperti berdzikir dengan lafazh “الله” maka mereka berdalil dengan ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.”

——– Surat al-Ahzab ayat 41

Ini adalah dalil umum, padahal berdzikir dengan lafazh mufrad “الله” tersebut tidak pernah ada dasarnya (dalil khusus) dari pengamalan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dan telah disebutkan sebelumnya perkataan shahabat Hudzaifah bin al Yamani radhiyallahu ‘anhu :

كلُّ عبادةٍ لمْ يَتَعبدْ بها أَصْحابُ رَسُولِ اللهِ- صلى الله عليه وآله وسلم- فلاَ تَتَعبَّدوا بها؛ فإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدعْ للآخِر مَقالاً

“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jangan kalian lakukan, sesungguhnya generasi pertama tidak pernah membiarkan generasi berikutnya untuk berpendapat (dengan akal dalam agama).”

——- al Amru bil Ittiba’ hal.77 oleh Imam As Suyuthi

Karena itu yakinlah, bahwa tidak ada satu ibadahpun melainkan pasti para shahabat telah mengetahuinya dan mengamalkannya, kemudian jika ada orang hari ini mengklaim sebuah ibadah bahwa ia adalah bagian dari syari’at Islam, akan tetapi para sahabat tidak mengetahuinya dan tidak mengamalkannya, maka pastilah itu bukan termasuk syari’at berdasarkan kaedah yang diakui disisi ahlis sunnah :

لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ

“Seandainya (suatu amal itu) adalah sebuah kebaikan, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita untuk (melakukan)nya.”

Bahkan meskipun sebagian orang itu mendatangkan dalil-dalil umum untuk membela amalan bid’ah mereka itu, maka seandainyalah pemahaman dalil itu sebagaimana yang mereka klaim, maka kenapa para shahabat tidak melakukan amalan seperti yang mereka lakukan?
Jawabannya: “ Tentu saja tidak, karena para shahabat tidak memahami dalil itu seperti pemahaman mereka, dan karena setiap ibadah berdiri dengan dalil masing-masing, bukan semata dengan dalil umum dan tidak berlaku qiyas dalam ibadah”

الْأَصْلُ فِيْ الْعِبَادَاتِ الْحَظْرُ وَالْمَنْعُ وَالتَّوْقِيْفِيَّةُ حَتَّى يَرِدَ الدَّلِيْلُ

“Hukum asal dari ibadah itu adalah terlarang, terhalang dan terhenti (pada dalil khusus) sampai datang dalil (tentang ibadah itu).”

Yakni tidak boleh dilakukan sebuah ibadah sampai ada dalil (khusus) dari kitabullah dan sunnah yang datang tentang ibadah itu baik dari sisi jenisnya, sebabnya, tata caranya, waktunya atau tempatnya dan bilangannya serta bacaannya. Sebab dinul Islam ini telah sempurna sebagaimana firman-Nya :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.

——– Surat Al Maidah :3

Sedangkan konsekwensi dari meyakini kesempurnaan syari’at itu adalah :

  • Tidak kita membutuhkan tambahan lain dalam syari’at ini, karena setiap yang membutuhkan tambahan berarti masih kurang dan belum sempurna.

Berkata Ibnu Abbas radhiyallhu’anhuma terkait tafsir ayat tentang kesempurnaan Islam diatas :

أَخْبَرَ اللهُ نَبِيَّهُ وَالْمُؤْمِنِينَ أَنَّهُ قَدْ أَكْمَلَ لَهُمُ الْإِيمَانَ فَلَا يَحْتَاجُونَ إِلَى زِيَادَةٍ أَبَدًا، وَقَدْ أَتَمَّهُ فَلَا يَنْقُصُ أَبَدًا، وَقَدْ رَضِيَهُ فَلَا يَسْخَطُهُ أَبَدًا.

“Allah telah memberitahukan kepada nabi-Nya dan orang-orang yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan bagi mereka keimanan (dengan disempurnakannya agama ini) maka mereka tidak lagi membutuhkan tambahan selama-lamanya, Dia telah menyempurnakan maka Dia tidak akan menguranginya lagi selama-lamanya, Dia telah meredhoinya maka tidak Dia akan murka kepadanya selama-lamanya.”

—————— Tafsir Ad Durrul Mantsur

Dengan demikian, adanya sebuah kebid’ahan yang dijadikan agama berarti mengingkari kesempurnaan Islam tanpa sadar, seolah-olah pelaku bid’ah mengatakan bahwa agama Allah ini belum sempurna kecuali dengan kebid’ahan yang ia tambahkan tadi, dan jika hal itu (yakni mengingkari kesempurnaan Islam) menjadi sebuah keyakinan dengan sadar dan kesengajaan dalam diri seseorang maka bisa batal keislamannya disebabkan ia telah mengingkari ayat Allah Tabaraka wa Ta’ala.

  • Tidak membutuhkan agama yang lain selain Islam dan bahwa seluruh perkara yang tidak ditemukan ia dalam agama Allah Ta’ala ini meskipun hal tersebut ada dalam agama buatan akal dan hawa nafsu manusia (seperti agama tradisi nenek moyang dan sebagainya), maka itu bukanlah agama Allah, dan tidak kita membutuhkannya dan tidak pula kita mencari selain dari Islam.
  • Tidak kita membutuhkan petunjuk selain petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan kita juga tidak membutuhkan petunjuk dari nabi-nabi yang lain selain hanya dari nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah :

هَذِهِ أَكْبَرُ نِعَمِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ حَيْثُ أَكْمَلَ تَعَالَى لَهُمْ دِينَهُمْ، فَلَا يَحْتَاجُونَ إِلَى دِينِ غَيْرِهِ، وَلَا إِلَى نَبِيٍّ غَيْرِ نَبِيِّهِمْ، صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ

“Inilah nikmat Allah ‘Azza wa Jalla yang terbesar untuk umat ini, dimana Allah Ta’ala telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka maka tidak lagi mereka butuh kepada agama selainnya dan tidak pula membutuhkan nabi selain dari nabi mereka (Muhammad) shalawatullahi wa salamuhu ‘alaih.”

———- Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

———- Surat Ali Imran: 85

أَيْ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا سِوَى مَا شَرَعَه اللَّهُ فَلَنْ يُقْبل مِنْهُ {وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: “مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ”.

Yakni barang siapa yang menempuh suatu jalan selain jalan yang telah disyariatkan oleh Allah, maka jalan itu tidak akan diterima darinya (dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi) sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis sahih, yaitu: [Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada atas amalan itu perintah dari kami, maka amalan itu tertolak]

————– Tafsir Ibnu Katsir

Sebagian orang ada yang memunculkan syubhat untuk membela amalan bid’ah mereka dengan alasan “ Mana dalil yang melarang amalan ini ?” atau yang semisal dengannya. Maka cukup sebagai jawabannya hadits ini :

مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada atas amalan itu perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.”

———– Muttafaq ‘Alaihi

Yakni nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas mensyaratkan adanya perintah yakni dalil yang memerintahkan untuk dilakukannya sebuah ibadah, karena secara asal manusia itu terbebas dari perintah untuk mengerjakan sebuah ibadah sampai datang wahyu yang memerintahkan, yaitu tidak boleh mengerjakan suatu ibadah kecuali setelah ada dalil yang memerintahkan, karena itulah terkait dengan ibadah maka yang menjadi kaedah adalah pertanyaan “mana perintahnya?” bukan “mana larangannya?”

4. Menyerupai dan menandingi syari’at

Hakikat dari sebuah kebid’ahan yang dibisikkan oleh syaithan lalu diada-adakan oleh manusia adalah untuk menandingi Allah Ta’ala dan syari’at-Nya, padahal hak untuk membuat syariat hanyalah milik Allah Ta’ala semata, sedangkan para nabi dan rasul hanyalah menyampaikan syari’at Allah. Allah Ta’ala berfirman mengingkari hak tasyri’ (membuat syari’at) dari selain-Nya :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?

———- Surat Asy Syuro : 21

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah dalam tafsirnya :

{شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} من الشرك والبدع، وتحريم ما أحل الله، وتحليل ما حرم الله ونحو ذلك مما اقتضته أهواؤهم مع أن الدين لا يكون إلا ما شرعه الله تعالى، ليدين به العباد ويتقربوا به إليه

“(sesembahan selain Allah itu yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah) berupa kesyirikan dan perkara-perkara bid’ah, serta mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah serta hal lain yang semisal dengannya yang yang menjadi tuntutan hawa nafsu mereka. Padahal Agama itu hanyalah apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah Ta’ala agar Bergama dengan itu para hamba Allah dan agar mereka mendekatkan diri kepadaNya dengan agama itu.”

——- Taisirul Karimir Rahman

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya :

أَيْ: هُمْ لَا يَتَّبِعُونَ مَا شَرَعَ اللَّهُ لَكَ مِنَ الدِّينِ الْقَوِيمِ، بَلْ يَتَّبِعُونَ مَا شَرَعَ لَهُمْ شَيَاطِينُهُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ، مِنْ تَحْرِيمِ مَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ، مِنَ الْبَحِيرَةِ وَالسَّائِبَةِ وَالْوَصِيلَةِ وَالْحَامِ، وَتَحْلِيلِ الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَالْقِمَارِ، إِلَى نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الضَّلَالَاتِ وَالْجَهَالَةِ الْبَاطِلَةِ، الَّتِي كَانُوا قَدِ اخْتَرَعُوهَا فِي جَاهِلِيَّتِهِمْ، مِنَ التَّحْلِيلِ وَالتَّحْرِيمِ، وَالْعِبَادَاتِ الْبَاطِلَةِ، وَالْأَقْوَالِ الْفَاسِدَةِ

Yakni mereka tidak mau mengikuti apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepadamu berupa agama yang lurus, bahkan mereka mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia, seperti mengharamkan apa yang dihalalkan bagi mereka, misalnya hewan bahirah, saibah, wasilah, dan ham. Dan mereka menghalalkan memakan bangkai, darah, berjudi, dan kesesatan-kesesatan lainnya. Itulah kejahilan yang batil yang telah mereka ada-adakan di masa Jahiliahnya, seperti menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan melakukan ibadah-ibadah yang batil dan pendapat-pendapat yang rusak.

——— Tafsir Al Quranul ‘Azhim

Dengan demikian para pelaku bid’ah telah ikut terlibat dalam misi iblis dan syaitan dan telah masuk kedalam perangkapnya yakni misi untuk membuat tandingan bagi agama Allah Ta’ala ini dengan cara menampakkan kepada mereka bahwa kebid’ahan itu adalah termasuk amal shaleh yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Bahkan jika sampai pada keyakinan bahwa ada selain Allah yang juga berhak untuk membuat syari’at seperti, masyaikh atau guru-guru dan nenek moyang mereka diyakini berhak dan boleh juga untuk membuat sebuah syaria’t baik berupa amalan atau hukum maka sungguh berarti mereka telah terjatuh dalam syirik akbar yang bisa mengeluarkan dari Islam, karena itulah para ‘ulama menyebutkan bahwa :

البِدْعَةُ بَرِيْدٌ إِلىَ الْكُفْرِ

“Bid’ah itu adalah penghantar kepada kekufuran.”

Berkata Imam Asy Syathibi rahimahullah :

قال الإمام الشاطبي رحمه الله :
أَنَّ الْمُبْتَدِعَ مُعَانِدٌ لِلشَّرْعِ، وَمَشَاقٌّ لَهُ; لِأَنَّ الشَّارِعَ قَدْ عَيَّنَ لِمَطَالِبِ الْعَبْدِ طُرُقًا خَاصَّةً عَلَى وُجُوهٍ خَاصَّةٍ، وَقَصَرَ الْخَلْقَ عَلَيْهَا بِالْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَالْوَعْدِ وَالْوَعِيدِ، وَأَخْبَرَ أَنَّ الْخَيْرَ فِيهَا، وَأَنَّ الشَّرَّ فِي تَعَدِّيهَا إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ، لِأَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ، وَأَنَّهُ إِنَّمَا أَرْسَلَ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ.
فَالْمُبْتَدِعُ رَادٌّ لِهَذَا كُلِّهِ، فَإِنَّهُ يَزْعُمُ أَنَّ ثَمَّ طُرُقًا أُخَرَ، لَيْسَ مَا حَصَرَهُ الشَّارِعُ بِمَحْصُورٍ، وَلَا مَا عَيَّنَهُ بِمُتَعَيِّنٍ، كَأَنَّ الشَّارِعَ يَعْلَمُ وَنَحْنُ أَيْضًا نَعْلَمُ، بَلْ رُبَّمَا يَفْهَمُ مِنِ اسْتِدْرَاكِهِ الطُّرُقَ عَلَى الشَّارِعِ، أَنَّهُ عَلِمَ مَا لَمْ يَعْلَمْهُ الشَّارِعُ، وَهَذَا إِنْ كَانَ مَقْصُودًا لِلْمُبْتَدِعِ; فَهُوَ كُفْرٌ بِالشَّرِيعَةِ وَالشَّارِعِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَقْصُودٍ; فَهُوَ ضَلَالٌ مُبِينٌ.

“Sesungguhnya pelaku bid’ah itu adalah seorang pembangkang dan penentang syari’at, karena Sang Pembuat Syari’at (yakni Allah Ta’ala) telah menentukan apa yang dituntut dari seorang hamba berupa jalan-jalan yang khusus berdasarkan sisi-sisi yang khusus pula dan telah membatasi bagi makhluk berdasarkan ketentuan ini dengan (batasan) perintah dan larangan, janji dan ancaman dan Dia telah memberitahukan bahwa kebaikan hanyalah dalam perkara tersebut dan keburukan terletak pada sikap melampaui batas ketentuan itu hingga (melakukan) selain ketentuan (syariat) tersebut, karena Allah Dialah yang mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui dan bahwa Allah telah mengutus Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah sebagai rahmat bagi semesta ‘alam.

Maka pelaku bid’ah menolak perkara ini semuanya, dimana ia menyangka bahwa ada jalan-jalan lain, bukan hanya jalan yang dibatasi oleh Sang Pembuat Syari’at saja dan bukan pula hanya ketentuan yang ditentukan oleh Sang Penentu Syari’at saja seolah-olah (pelaku bid’ah itu mengatakan): Sang Pembuat Syari’at (yakni Allah) mengetahui dan kami juga mengetahui. Bahkan boleh jadi ia memahami bahwa (kebid’ahannya itu) adalah metode untuk meralat/memperbaiki (kesalahan) dari Sang Pembuat Syari’at dan bahwa ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Sang Pembuat Syari’at, dan jika ini yang dimaksud oleh si pelaku bid’ah maka berarti ia kafir kepada syari’at dan pembuatnya (yakni Allah Ta’ala), namun jika bukan itu maksudnya berarti itu adalah kesesatan yang nyata”

————– Al-I’tisham oleh Asy Syathibi (1/65)

Dengan demikian pelaku bid’ah hanya berputar dalam dua kondisi : kesesatan atau kekufuran. Na’udzubillahi min dzalik.

Berkata Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullahu :

“فَعَلَيْكَ بِلُزُومِ السُّنَّةِ ; فَإِنَّ السُّنَّةَ إِنَّمَا سَنَّهَا مَنْ قَدْ عَرَفَ مَا فِي خِلَافِهَا مِنَ الْخَطَأِ وَالزَّلَلِ وَالْحُمْقِ وَالتَّعَمُّقِ”.

Hendaklah engkau senantiasa bersama sunnah, karena sesungguhnya sunnah itu hanyalah diadakan oleh orang yang telah mengetahui bahwa kesalahan,ketergelinciran,kedunguan dan kepayahan ada dalam sebaliknya.

————– Al-I’tisham oleh Asy Syathibi

Kemudian diantara talbis syaithan dalam menyemangati manusia untuk perkara bid’ah ini adalah dengan memberikan pandangan bahwa bid’ah itu adalah amal shaleh juga dan bagian dari syari’at Allah, sehingga wajar sulit bagi pelaku bid’ah untuk menyadari kesalahannya dan rujuk kepada kebenaran. Benar apa yang diungkapkan oleh Imam Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah :

«الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ , وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا , وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا»

“Bid’ah itu lebih disukai Iblis dari pada ma’shiat, ma’shiat (mungkin) pelakunya bertaubat darinya sedangkan bid’ah pelakunya tidak (mungkin) bertaubat darinya.”

—– Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Imam Al Lalaka’I No.238

Karena itu, dari sisi ini diketahuilah perbedaan antara ma’shiat dengan bid’ah. Meminum khamar dan berjudi tidak dikatakan ini bid’ah meskipun hal itu juga terlarang dalam agama sebagaimana amalan bid’ah, namun ini dikatakan ma’shiat dimana sepakat orang yang berakal mencela perbuatan ini, tidak sedikitpun peminum khamar dan pejudi terniat dalam hati mereka bahwa mereka akan bertaqarrub kepada Allah dengan minum khamar atau judi tersebut dan bahwa mereka berhak mendapatkan pahala dari Allah sebab melakukan hal tersebut. Bahkan mereka mengetahui bahwa perbuartan itu haram dan bahwa mereka adalah orang-orang yang berdosa dan mungkin ada keinginan dalam hati mereka untuk berhenti dan bertaubat dari perbuatan tersebut.

Akan tetapi beda halnya dengan pelaku bid’ah, dimana ia menganggap bahwa amalannya itu adalah bagian dari agama, bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya, dan bahwa ia berhak mendapatkan pahala atas amalannya itu. Lalu bagaimana orang yang seperti ini akan bertaubat ?! sedangkan seseorang itu bertaubat disebabkan ia mengetahui dan mengakui kesalahannya, lalu bagaimana ia akan bertaubat sedangkan ia tidak pernah tahu bahwa ia salah ?!

Dengan demikian pelaku bid’ah memandang bahwa dirinya tidak butuh taubat karena ia bukan orang yang melakukan kesalahan, dari sinilah dikatakan bahwa pelaku bid’ah tidak mungkin bisa bertaubat dari bid’ahnya.

Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّ اللَّهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan kebid’ahannya”

—————– Hadits riwayat Imam Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath No. 4202 tanpa tambahan “حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ “ dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih At Targhib No. 54 dan Hajjatun Nabiy hal. 101

 

5. Melebihi batas atau kadar yang telah ditetapkan dalam syari’at Allah

Terjatuhnya seseorang kedalam perbuatan bid’ah diantara sebabnya adalah karena ia belum merasa puas dan merasa cukup dengan syariat Allah ini yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sesuai kadarnya, dimana syaithan membisikkan kedalam akal dan perasaan mereka bahwa seluruh ibadah yang mereka lakukan belum lagi maksimal, butuh ditambah lagi dari sisi kadarnya atau tingkat kesulitannya, maka lahirlah kebid’ahan dalam amalan-amalan yang secara asal ia memiliki landasan dalam syari’at seperti sholat dan puasa akan tetapi pelaku bid’ah menambahkan beberapa tambahan agar lebih bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah menurut anggapan akal, hawa nafsu dan perasaan mereka.

Beberapa orang shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim pernah hampir terjatuh dalam perkara ini seandainyalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menegur mereka dan meluruskan kembali pemahaman mereka. Disebutkan dalam Shahihain :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata; Ada tiga rombongan orang yang mendatangi rumah-rumah para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, seolah-olah mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Dimana kedudukan kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa sepanjang masa dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”

———– Muttafaq ‘Alaihi

Berkata Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalaniy rahimahullah menjelaskan makna hadits Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” :

مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang meninggalkan cara (beragama)ku dan mengambil cara selain(cara)ku maka bukan termasuk golonganku”

——- Fathul Baariy (9/105)

Download Ringkasan Kajian Kitab “Syarah Ushul as Sunnah” – Pertemuan Kedua 

Related Posts

Leave a Reply

× Hubungi Kami di Whatsapp