*Pertemuan Satu*
Berkata Imam Ahlus Sunnah yakni Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
أصُول السّنة عندنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسلم والإِقتدَاءُ بِهِمْ وَترْكُ الْبدَعِ وكلُّ بِدعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ وَترْكُ الْخُصُومَاتِ فِي الدّينِ
”Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: Berpegang teguh dengan ajaran yang berada diatasnya para shahabat serta meneladani mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan perdebatan dalam masalah agama”
———————
PENJELASAN
- Ushul (أصُول ) adalah bentuk jamak dari أَصْلٌ artinya secara bahasa adalah :
ما يُبنَى عليه غيرُه
(sesuatu yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain)
maka akar pohon dan pondasi rumah adalah أَصْلٌ secara bahasa, maka demikian pula perkara aqidah dan manhaj ia adalah pondasi agama yang mana di atasnya lah dibangun amalan, sehingga jika pondasi itu rusak dan rapuh maka amalan yang berada diatasnya juga rusak dan terancam runtuh .
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahulah menjelaskan pentingnya kedudukan aqidah dan manhaj yang menjadi pondasi dalam agama :
من أَرَادَ علو بُنْيَانه فَعَلَيهِ بتوثيق أساسه وإحكامه وَشدَّة الاعتناء بِهِ
فَإِنَّ علو الْبُنيان على قدر تَوْثِيق الأساس وإحكامه فالأعمال والدرجات بُنيان وأساسها الْإِيمَان وَمَتى كَانَ الأساس وثيقا حمل الْبُنيان واعتلى عَلَيْهِ وَإِذا تهدم شَيْء من الْبُنيان سهل تَدَارُكه وَإِذا كَانَ الأساس غير وثيق لم يرْتَفع الْبُنيان وَلم يثبت وَإِذا تهدم شَيْء من الأساس سقط الْبُنيان أَو كَاد
فالعارف همّته تَصْحِيح الأساس وإحكامه وَالْجَاهِل يرفع فِي الْبناء عَن غير أساس فَلَا يلبث بُنْيَانه أَن يسْقط
قَالَ تَعَالَى : ﴿أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ﴾ التوبة : 109
“Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya maka hendaknya dia menguatkan dan mengokohkan pondasinya, serta bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya ketinggian bangunan itu sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan itu dan (tinggi-rendahnya) derajat (amal itu dalam Islam) adalah (bagaikan) bangunan yang pondasinya adalah keimanan, dan bilamana semakin kuat pondasi tersebut maka dia akan (semakin mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya dan seandainya (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan itu maka (akan) mudah diperbaiki. (Adapun) jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) ditegakkan (di atasnya) serta tidak kokoh, dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh.
Karena itu orang yang mengenal (Allah Ta’ala dan agama-Nya) perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya), sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan tanpa (memperhatikan kekokohan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh. Allah Ta’ala berfirman:
)Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?( “ (QS At Taubah:109)
—————————– Al Fawaid oleh Imam Ibnul Qayyim hal. 156
Adapun makna ushul disini secara istilah adalah : “ Prinsip/Landasan-landasan umum didalam Islam yang merujuk kepadanya perkara-perkara cabang yang lain”
Dengan demikian apa yang terdapat dalam kitab Ushulus Sunnah ini adalah kaedah kulliyah yang universal yang merupakan pondasi pokok dalam bangunan Diinul Islam ini
- As Sunnah ( السنة) yang dimaksud disini adalah Islam yang hakiki sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang diamalkan oleh para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Diantara definisi sunnah yang sesuai dengan konteks ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab dalam “Jami’ul ‘ulum wal Hikam” :
وَالسُّنَّةُ: هِيَ الطَّرِيقَةُ الْمَسْلُوكَةُ، فَيَشْمَلُ ذَلِكَ التَّمَسُّكَ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ هُوَ وَخُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنَ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَقْوَالِ، وَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ الْكَامِلَةُ، وَلِهَذَا كَانَ السَّلَفُ قَدِيمًا لَا يُطْلِقُونَ اسْمَ السُّنَّةِ إِلَّا عَلَى مَا يَشْمَلُ ذَلِكَ كُلَّهُ
“Sunnah adalah sebuah metode yang ditempuh dimana hal itu mencangkup berpegang dengan apa saja yang berada di atasnya beliau dan para khalifahnya mendapat petunjuk baik perkara itu berupa keyakinan, perkataan ataupun perbuatan. Inilah (makna) sunnah yang sempurna, karena itulah para Salaf terdahulu tidak memuthlakkan nama sunnah kecuali mencangkup semuanya itu”
- Ushul yang pertama yang disebutkan oleh Imam Ahmad adalah :
التَّمَسُّك بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَاب رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم والإِقتداء بهم
“Berpegang teguh dengan ajaran yang berada diatasnya para shahabat serta meneladani mereka”
Pemahaman dan pengamalan agama para shahabat adalah standar kebenaran dalam beragama dan setiap pemahaman serta pengamalan yang menyelesihi pemahaman dan pengamalan mereka maka itu bukanlah agama.
Berkata shahabat Hudzaifah bin al Yamani radhiyallahu ‘anhu :
كلُّ عبادةٍ لمْ يَتَعبدْ بها أَصْحابُ رَسُولِ اللهِ- صلى الله عليه وآله وسلم- فلاَ تَتَعبَّدوا بها؛ فإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدعْ للآخِر مَقالاً
“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jangan kalian lakukan, sesungguhnya generasi pertama tidak pernah membiarkan generasi berikutnya untuk berpendapat (dengan akal dalam agama)”
——– al Amru bil Ittiba’ hal.77 oleh Imam As Suyuthi
Diantar Dalil-Dalil Terkait Wajibnya Mengikuti Para Shahabat Dalam Beragama :
- Hadits dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku nanti akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, peganglah ia dan gigitlah (dengan kuat) dengan geraham.“
——- Sunan Abi Daud (4607) dishahihkan oleh Syekh Albani
Terkait sabda beliau dalam hadits ini:
«فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا»
“Siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku nanti akan menyaksikan banyaknya perselisihan”
اخْتِلافًا كَثِيرًا» « disini maknanya adalah الْبِدَعُ وَالضَّلاَلُ (berbagai macam kebid’ahan dan kesesatan)
Berkata Imam Al Baghawi rahimahullah terkait makna hadits ini:
إِشَارَةٌ إِلَى ظُهُورِ الْبِدَعِ وَالأَهْوَاءِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، فَأَمَرَ بِلُزُومِ سُنَّتِهِ، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، وَالتَّمَسُّكِ بِهَا بِأَبْلَغِ وُجُوهِ الْجَدِّ، وَمُجَانَبَةِ مَا أُحْدِثَ عَلَى خِلافِهَا.
“ini merupakan isyarat munculnya perkara bid’ah dan mengikuti hawa nafsu. wallahualam. Beliau memerintahkan untuk konsisten dengan sunnah beliau dan sunnah khulafaur rasyidin serta berpegang dengan sunnah itu semaksimal kemampuan dan kesungguhan serta menjauhi perkara yang diada-adakan yang menyelisihi sunnah itu”
——-Syarhus Sunnah 1/206
Berkata Syaikh Husain bin Ghannam rahimahullah dalam kitabnya Al ‘Aqduts Tsamiin (1/151) tatkala menjelaskan hadits ini :
هذَا إِخْبارٌ منْه صلى الله عليه وسلم بما وَقع في أمّتِه بعْدَه مِنْ كثْرةِ الإِختلاف في أصولِ الدّين وفروعِه, وفي الأقوالِ والأعمالِ والاعتقاداتِ, وهذا مُوافِقٌ لِماَ رُوي عنهُ مِن افْتراقِ أمتِه على بضْع وسبعين فِرقة, وأنّها كلَّها في النار إلاّ فرقة واحدة وهي من كان على ما هو عليه وأصحابُه. وكذلك في هذا الحديث الأمرُ عند الاختلاف والافتراق بالتمسُّك بسنّته وسنّةِ الخلفاء الراشدين مِن بعده.
“Ini merupakan perkabaran dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap apa yang terjadi pada umatnya sepeninggal beliau berupa banyaknya perselisihan dalam masalah ushuluddin dan furu’nya baik dalam perkataan dan perbuatan maupun keyakinan,dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau tentang hadits Iftiraqul Ummah (perpecahan umat) di mana umat ini terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya berada dalam neraka kecuali satu saja yaitu golongan yang berada di atas ajaran nabi dan para sahabatnya setelahnya.Demikianlah dalam hadits ini terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah khulafaur rasyidin setelahnya ketika terjadi perselisihan dan perpecahan”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
فلولا أَن سنته وَسنة الْخُلَفَاء الرَّاشِدين تسع الْمُؤمن وَتَكْفِيه عِنْد الِاخْتِلَاف الْكثير لم يجز الْأَمر بذلك
“Seandainyalah sunnah beliau dan sunnah al Khulafaur Rasyidin tidak mencukupi dan memadai bagi seorang mukmin ketika terjadinya perselisihan yang banyak ini tentulah tidak layak diperintahkan (untuk berpegang) dengan itu”
————— Al Istiqamah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 4
Sedangkan kalimat :
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
(peganglah ia dan gigitlah (dengan kuat) dengan gigi geraham)
Maknanya adalah :
إشارة إلى غاية التمسك، فكأنه قال صلى الله عليه وسلم اجتهدوا على السنة والزموها واحرصوا عليها كما يلزم العاض على الشيء بنواجذه خوفاً من ذهابه وتفلته
“Merupakan isyarat yang menunjukkan telah sampai pada puncak kesungguhan ( usaha yang maksimal) di dalam berpegang (dengan sunnah) seolah-olah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Bersungguh-sungguhlah kalian di atas sunnah dan konsistenlah bersamanya dan bersemangatlah untuk (berada) diatasnya sebagaimana konsistennya orang yang menggigit sesuatu dengan gigi gerahamnya karena takut sesuatu itu hilang atau lepas darinya”
———————- Ghayatul Amani oleh Abu Ma’aliy Mahmud Syukri (2/456)
- Surat An Nisa’ ayat 115 :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Kandungan Ayat :
Allah Taala mengancam dalam ayat ini dengan tenggelamnya orang tersebut dalam kesesatan di dunia dan masuk kedalam neraka jahanam diakhirat nanti, yakni bagi :
- siapa saja yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk
- siapa saja yang mengikuti selain jalannya orang-orang beriman
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah :
فَإِنَّهُمَا مُتَلَازِمَانِ؛ فَكُلُّ مَنْ شَاقَّ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى فَقَدْ اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ وَكُلُّ مَنْ اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ فَقَدْ شَاقَّ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى. فَإِنْ كَانَ يَظُنُّ أَنَّهُ مُتَّبِعٌ سَبِيلَ الْمُؤْمِنِينَ وَهُوَ مُخْطِئٌ؛ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ مُتَّبِعٌ لِلرَّسُولِ وَهُوَ مُخْطِئٌ.
“Sesungguhnya dua hal tersebut saling berlazim-laziman, maka setiap orang yang mendurhakai rasul setelah jelas baginya petunjuk maka berarti dia mengikuti selain jalan orang yang beriman dan setiap orang yang mengikuti selain jalan orang beriman maka sungguh dia telah mendurhakai rasul setelah jelas baginya petunjuk, berarti jika dia menyangka bahwa dia mengikuti jalan orang-orang yang beriman maka dia keliru, ia sama kedudukannya dengan orang yang mengira bahwa dia mengikuti Rasul padahal dia keliru”
—————– Al Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 35, Majmu Al Fatawa (7/38)
Hal ini sama dengan kelaziman yang ada dalam surat an Nisa’ ayat ke 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Siapa yang menta’ati rasul maka sungguh berarti ia telah menta’ati Allah “
Karena itu, ketaatan kepada Allah dan Rasul adalah dua hal yang berlaziman dan tidak terpisahkan.
Berkata syekh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahullah :
وسبيلُ المؤمنين هو الصِّراطُ المستقيمُ، وهو ما كان عليه صلى الله عليه وسلم مِنَ الإسلامِ والتَّوحيدِ. فسّره بهذا أهلُ العلمِ.
“Sabilul mu’minin (jalan orang-orang yang beriman) itulah ash sirathal mustaqim yakni islam dan tauhid yang berada di atasnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan inilah para ahlul ilmi menafsirkan hal itu”
————— Mishbahuzh Zholam hal.204
Allah Ta’ala pun telah memerintahkan :
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”
———- Surat Luqman : 15
Maksud ayat ini kata Imam Al Baghawi rahimahullah :
أَيْ دِينَ مَنْ أَقْبَلَ إِلَى طَاعَتِي وَهُوَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ
“ (ikutilah jalan yakni) agama orang yang menghadap untuk taat kepada-Ku yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya”
—————- Ma’alimut Tanzil
Dengan demikian sabilul mu’minin itulah ash shirathal mustaqim dan ash shirathal mustaqim itulah jalannya para sahabat radhiyallahu anhum ajma’in, karena itu tidak diragukan lagi bahwa para sahabat merekalah yang termasuk kedalam makna ayat :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“(Yaitu) Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka “
—————— Surat al Fatihah : 6
Bertanya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
مَا الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟
“Apa itu ash Shirathal Mustaqim ya Abu Abdirahman ?
maka beliau menjawab:
هُوَ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ الَّذِي ثَبَتَ عَلَيْهِ أَبُوكَ حَتَّى دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Demi Rabbil Ka’bah (ash shirathal mustaqim) itu adalah jalan yang berada dengan kokoh di atasnya ayahmu sampai dia masuk ke dalam surga”
———————- Al I’tisham oleh Imam Asy Syathibi (1/77)
dalam riwayat lain beliau berkata :
«الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Ash shirathal mustaqim (jalan yang lurus) itu adalah jalan yang kami (para sahabat) telah ditinggalkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas jalan itu”
—————– al Mu’jam al Kabir oleh Imam ath Thabrani No. 10454
Itulah dia jalan dimana siapa saja yang menyimpang dari jalan itu pasti dia akan binasa dalam kesesatan sebagaimana sabdanya :
” قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ “
Sungguh aku telah meninggalkan kalian diatas (ajaran) yang putih bersih (terang-benderang) malamnya laksana siangnya. Tidak ada yang menyimpang dari jalan tersebut kecuali ia pasti binasa/celaka.”
————— Sunan Ibnu Majah no.43, Musnad Ahmad no. 17142
Download Ringkasan Kajian Kitab “Syarah Ushul as Sunnah” – Pertemuan Pertama