Zakat Fithri Bolehkah Dengan Uang?

Setelah Memperhatikan Perdebatan Sengit Para ‘Ulama Dalam Masalah Zakat Fithri, Apakah Mesti Dengan Makanan Pokok Atau Boleh Dengan Uang?

Maka pendapat yang benar yang kami yakini meskipun ada pendapat yang berbeda dengan ini, adalah WAJIB ZAKAT FITHRI DENGAN MAKANAN POKOK.

Setidaknya ada tiga alasan pokok yang membuat pendapat ini kami anggap “mengalahkan hujjah” pendapat yang membolehkan dengan uang.

ALASAN PERTAMA:

Zakat Fithri diantara fungsinya adalah sebagai kaffarah.

Dalilnya adalah riwayat dibawah ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.

Hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dengan derajat Hasan.

Kalimat :

طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

(menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji) memberikan faedah bahwa zakat fithri berfungsi sebagai kaffarat.

Adapun hukum kaffarat dalam al Kitab dan Sunnah seluruhnya selalu datang diantaranya dalam bentuk makanan pokok.

Lihat contohnya kafarat bagi orang yang jima’ di sengaja disiang ramadhan, maka nabi katakan :

فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?”
—– Shahih Al Bukhari 1936

Demikian juga kaffarat orang yang menzhihar istrinya, maka kaffaratnya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

(…فَمَن لَّمۡ یَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّینَ مِسۡكِینࣰاۚ )

… Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin.
[Surat Al-Mujadilah 4]

Serta demikian pula kaffarat sumpah, Allah Ta’ala berfirman :

(.. فَكَفَّـٰرَتُهُۥۤ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَـٰكِینَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِیكُمۡ ….)

maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kamu,
[Surat Al-Ma’idah 89]

Berarti penetapan kaffarat (termasuk zakat fithri) dengan jenis makanan pokok adalah sesuatu yang dinashkan sehingga tidak boleh menggantinya dengan yang lain, sama halnya seperti kurban mesti jenisnya dengan unta, sapi atau kambing, sebagaimana yang dinashkan maka tidak sah seandainya seseorang berkurban dengan ayam atau ikan dengan alasan : “masyarakat kami lebih butuh daging ayam atau ikan” atau ia mengatakan “daging ikan atau ayam sekarang lebih mashlahah”

Adapun, jika dikatakan orang miskin hari ini lebih butuh uang, maka kita katakan bahwa orang kaya pun juga butuh uang, sebagaimana orang kaya juga butuh makanan.

Namun masalahnya adalah ada atau tidaknya kemampuan untuk memiliki apa yang dimakan inilah yang menjadi ukuran, karena itu dalam al quran Allah menghubungkan antara kemiskinan dengan makanan.

Seperti Firman Allah Ta’ala :
(وَلَا یَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ)
[Surat Al-Haqqah 34]
(وَلَا یَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ)
[Surat Al-Ma’un 3]
(وَلَا تَحَـٰۤضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ)
[Surat Al-Fajr 18]
(وَیُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِینࣰا وَیَتِیمࣰا وَأَسِیرًا)
[Surat Al-Insan 8]

Demikian juga dalil-dalil tentang kaffarat diatas, menunjukkan bahwa kemiskinan itu terkait dengan makanan bukan dengan uang.

Karena itu illat dari zakat fithri bukanlah al ighna’ (untuk mencukupi kebutuhan mereka) dan hadits yang datang tentang itu adalah dha’if, yakni hadits

أغنوهم عنِ الطَّوافِ في هذا اليومِ

Cukupkanlah mereka(orang-orang miskin itu) dari berkeliling untuk meminta minta pada hari ini.

As Sunanul Kubra oleh Al Baihaqi dan di dha’ifkan oleh sejumlah ‘ulama seperti Imam An Nawawi dalam al Majmu’nya dan Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram serta Syekh Al Albani dalam Irwaul Ghalil dan Tamamul Minnah.

Adapun yang sah, illat zakat fithri adalah untuk memberi makan orang miskin sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu sebelumnya :

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Karena itu seandainya seseorang memiliki stok makanan 1 ton beras dirumahnya sedangkan ia tidak memiliki uang seribu rupiah pun, maka kita katakan : tidak boleh diberikan zakat kepadanya karena ia bukan orang miskin meskipun tidak punya uang seribu rupiah pun.

Sebaliknya, seandainya seseorang punya uang 1 milyar rupiah dalam tasnya, namun uang semilyar itu tidak bisa membeli sebungkus nasi pun yang bisa ia makan, seperti ia berada dinegeri yang tidak berlaku disitu jenis uang rupiah, dan tidak diterima jenis uang yang dia bawa dalam transaksi jual beli disana sehingga ia kelaparan dan tidak mampu membelinya maka kita katakan : berikan zakat fithri kepadanya.

Atau seseorang yang memiliki puluhan hektar tanah, yang seandainya ia jual satu hektar saja ia bisa membeli segudang beras dengan uang hasil jual beli itu.. Hanya saja kondisi dirinya sekarang ini adalah kekurangan makanan, tidak mampu membelinya, haruskah kita katakan kepadanya : ” Tahan laparmu selama sebulan dua bulan ini sampai tanahmu ada yang membelinya “?

Tidak, namun yang kita katakan adalah : berikan zakat fithri kepadanya karena ia saat ini adalah seorang miskin.

Adapun jika dasar zakat fithri dengan uang adalah mashlahah si miskin, maka mashlahah itu berbeda dan kondisional sifatnya dan bergantung juga kepada kemampuan ilmu orang yang menimbang mashlahah.

Seandainya ini benar, maka tidak boleh dimutlakkan : “boleh zakat fitrah dengan uang”
Tetapi seharusnya adalah :
“diantara orang miskin ada yang boleh dengan uang dan ada yang mesti dengan makanan”

Namun ini hanyalah istihsan, sedangkan istihsan yang menyelisihi dalil maka ia tertolak.

ALASAN KEDUA
Kaedah yang mengatakan :

إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل

“Apabila terhalang dari penerapan hukum asal maka boleh berpindah kepada hukum pengganti.”

Membayar zakat fitrah dengan makanan pokok adalah hukum asal, dimana kebolehan menggunakan uang (jika ia dianggap sebagai pengganti) hanyalah ketika terhalang sebab adanya udzur .

Namun kemungkinan ini sangat sedikit, jika memang beras tidak ada disebuah negeri, maka sebagai penggantinya mungkin bahan makanan pokok lain ada, seperti kurma, atau sagu, jagung atau lainnya.

Ditambah lagi hukum pengganti ia masuk dalam kaedah hukum rukhshah yang juga mesti merujuk kepada ketentuan dalil.

Seperti : Wudhu’ adalah hukum asal dan boleh berpindah kepada tayamum jika ada udzur yang menghalangi untuk berwudhu .

Maka tayamum adalah hukum pengganti yang juga telah dinashkan ketentuannya.

Namun jika seandainya, kita tempatkan uang itu sebagai pengganti beras, maka berarti mesti setelah adanya udzur yang menghalangi.

ALASAN KETIGA
Hujjah tertinggi dari pendapat yang membolehkan dengan uang adalah pendapat diantara shahabat (Mu’awiyah) dan tabi’in (Al Hasan dan Umar bin Abdil Aziz) dan istihsan dari akal serta qiyas

Adapun bantahannya:

Qaulus Shahabiy (pendapat shahabat) hanya menjadi hujjah jika tidak menyelisihi dalil dan tidak ada shahabat yang lain yang menyelisihinya.

Dalam hal ini pendapat shahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu yang membolehkan membayar zakat dengan nilai dimana beliau mengkonversi 1 sho’ tamar Madinah setanding dengan 2 mud gandum syam, sehingga dari sini dikatakan bolehnya 1 sho’ dikonversi ke nilai lain.

Namun kalau kita perhatikan, ini bukanlah dalam bentuk konversi ke nilai uang, namun hanya perbedaan nilai takaran sedangkan jenis yang dizakatkan masih makanan pokok.

Apalagi pendapat ini diingkari oleh Shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam shahih Muslim 985 :

فَأَمَّا أَنَا، فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ أَبَدًا مَا عِشْتُ.

“Adapun saya maka saya akan selalu mengeluarkan (dengan sho’ madinah) sebagaimana dahulu saya mengeluarkannya”

dan Shahih Ibnu Hibban 3306

لا، تلك قيمة معاوية، لا أقبلها، ولا أعمل بها،

(Tidak, itu hanyalah nilai yang dibuat oleh Muawiyah, saya tidak menerimanya dan tidak beramal dengannya).

Lalu bagaimana lagi dengan pendapat Tabi’in?
tentu lebih layak lagi untuk diingkari.

Karena ketika dikatakan kepada Imam Ahmad rahimahullah :

قَوْمٌ يَقُولُونَ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ

“Orang-orang (beralasan dengan) mengatakan bahwa Umar bin Abdil ‘Aziz mengambil zakat dalam bentuk nilai (uang)”

maka beliau menjawab :

“يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ)- وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ} [النساء: 59]

“Berarti mereka meninggalkan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan malah berkata “telah berkata si Fulan” padahal telah berkata Ibnu ‘Umar :”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menfardhukan –(zakat fithri satu sha’ dari tamar)- dan juga Allah Ta’ala berfirman :{أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ}“Ta’atilah Allah dan ta’atilah rasul-Nya”
——– Al Mughni karya Ibnu Qudamah

Adapun berdalil dengan qiyas sebagaimana perkataan Shahabat Mu’adz kepada penduduk Yaman :

ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ

“Berikan kepadaku baju khamish atau pakaian sebagai pembayaran gandum dan biji-bijian, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik (bermanfaat) bagi sahabat-sahabat Nabi di Madinah.”

Maka jawabannya bahwa tidak boleh qiyas dalam ibadah, dimana zakat pertanian atau lainnya diqiyaskan dengan zakat fithri maka ini qiyas ma’al fariq (tidak cocok).

Apalagi kerancuan dari sisi praktek qiyasnya, dimana qiyas adalah الحاق الفرع بالأصل (menghubungkan hukum cabang dengan asal) sedangkan yang asal disini adalah zakat fithri lalu bagaimana ia bisa tiba-tiba ia menjadi cabang dan zakat pertanian atau perdagangan menjadi asal sehingga zakat fithri bisa diperlakukan sebagaimana zakat lain yakni bisa diganti dengan bentuk lain?

Dengan demikian batallah qiyas dan tetaplah hukum asal.

Adapun pendapat yang mengharuskan zakat fithri dengan makanan pokok, maka hujjah terkuatnya adalah sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia adalah wahyu dan kesepakatan pengamalan ini dizaman nabi shallallahu alaihi wasallam.

Wallahu A’lam

Related Posts

Leave a Reply

× Hubungi Kami di Whatsapp