Bantahan Terhadap Orang-Orang yang Membuat Amalan Bid’ah di Malam Nishfu Sya’ban

AGAMA ADALAH DALIL

Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya yang mulia ‘Alaihish sholatu was salam dengan membawa risalah yang suci, manhaj yang haq serta agama yang sempurna yaitu ad-Dinul Islam. Dan dengan Islam, Allah telah menyingkap kebatilan bagaimanapun samarnya sehingga menjadi jelaslah kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan dengan Islam Allah telah menampakkan kebenaran dimanapun adanya sehingga nyatalah kebenaran tersebut bagi manusia.

Islam sebagai risalah yang suci dan syari’at yang sempurna tidaklah dibangun diatas dasar rasio atau logikanya para pengekor filsafat, juga tidak dibangun diatas Dzauq, Kasyaf dan Ilham para pengikut Tashawuf, dan juga tidak diatas fanatismenya para pengikut madzhab dan golongan. Namun agama Islam adalah agama yang dilandasi dalil. Agama yang mulia ini dibangun diatas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Shahihah dan pemahaman para A’immatul Huda (imam-imam yang mendapat petunjuk) dari generasi As-Salafush Shalih.

Setiap ibadah, keyakinan dan pemahaman dalam beragama yang tidak didasari oleh dalil yang shahih dan pemahaman yang benar, yakni tidak didasari oleh dalil dari Kitabullah dan Hadits yang shahih serta pemahaman para Shahabat, maka hal tersebut tidaklah termasuk bagian dari agama Islam. Meskipun menurut orang banyak itu adalah sebuah kebaikan dan kebenaran,atau meskipun sebuah amalan itu adalah amalan banyak orang maka tetap tertolak karena yang menjadi timbangan bagi setiap kebaikan dan kebenaran dalam agama ini adalah dalil, bukan anggapan dan bukan kebanyakan orang sebagaimana kaedah mengatakan:

لَيْسَتِ الْعِبْرةٌ بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا الْعِبْرَةُ بالْكتَابِ والسُّنَّةِ

“Bukan lah yang menjadi ukuran itu dengan banyaknya orang akan tetapi ukuran sebenarnya adalah dengan Al Kitab dan Sunnah”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

Artinya : « “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak” »
————————–
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (kitab Al-Aqdhiyyah : 1718), Sunan Abu Daud (kitab As-Sunnah : 4606), Sunan Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah :14, Musnad Ahmad bin Hanbal : 6/256)

Kaedah ini merupakan kaedah yang sangat penting dan mendasar sekali yang mesti diketahui oleh setiap muslim. Kaedah yang merupakan “standar kebenaran ” dalam ilmu, amal dan keyakinan. Kaedah yang akan kita terapkan terhadap siapa saja yang menyodorkan dan menyuguhkan kepada kita pendapat dan pemahaman baru dalam beragama. Kaedah yang dengannya kita mengetahui mana amalan dan pemahaman yang mempunyai dasar dalam agama ini dan mana amalan dan pemahaman yang bukan merupakan bagian dari agama.

Inilah dia Islam! Agama yang segala perkara apapun didalamnya didasarkan kepada dalil. Tidak ada satu perkarapun didalam Islam apakah itu berupa perintah maupun larangan, menghalalkan atau mengharamkan melainkan pasti ada dalil yang menjelaskannya. Tidak boleh ada dalam agama ini kaedah “boleh – boleh saja “ atau “sah-sah saja ” tanpa ada dalil yang shahih yang menjadi dasarnya.

Maka pada hakikatnya, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap hamba dari perkara-perkara yang bisa membawa kebaikan untuk dunia dan akhiratnya telah diterangkan dalam Islam tanpa ada yang tertinggal, dan tanpa perlu kita membuat-buat tambahan dalam agama ini. Karena apa-apa yang Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya telah mencukupi bagi kita tanpa ada kekurangan dan cela sedikitpun.

Allah Ta’ala berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya : {”…….Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”} (Surat Al-Maidah : 3)

Inilah ayat dimana Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah menetapkan dengannya kesempurnaan agama-Nya, dan telah memutuskan kesempurnaan syari’at-Nya dari atas langit yang ketujuh, dari atas ‘Arsy-Nya yang agung melalui ayat yang mulia ini. Maka adakah yang berani menggugat keputusan-Nya dan lancang mengkritisi syari’at-Nya ?

Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu ketika menafsirkan ayat ini :

] هذه أكبر نعم الله تعالى على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم, فلا يحتاجون إلى دين غيره, ولا إلى نبي غير نبيهم صلوات الله وسلامه عليه, ولهذا جعله الله تعالى خاتم الأنبياء وبعثه إلى الإنس والجن, فلا حلال إلا ما أحله, ولا حرام إلا ما حرمه, ولا دين إلا ما شرعه [

Artinya : (“Inilah nikmat Allah Ta’ala yang terbesar atas umat ini, dimana Allah Ta’ala telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka karena itu tidaklah mereka membutuhkan agama selain Islam dan tidak pula mereka membutuhkan nabi selain nabi mereka Muhammad Sholawatullahi wa Salamuhu ‘Alaihi , dan karena itulah Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai Penutup Para Nabi dan mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang telah beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang telah beliau haramkan dan tidak ada agama melainkan apa yang telah beliau syari’atkan”)
———————-
(Tafsir “Al Qur’anul ‘Azhim ” oleh Imam Ibnu Katsir , Tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah (Daar At Thaibah, 1420 H) Cet.2 III/26 )

Berkata Shahabat Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan ayat diatas :

] أخبر الله نبيه والمؤمنين أنه قد أكمل لهم الإيمان ولا يحتاجون إلى زيادة أبدا ,وقد أتمّه الله ولا ينقص أبدا, وقد رضيه الله ولا يسخط أبدا [

Artinya : (“Allah telah memberitahukan kepada Nabi-Nya dan orang-orang yang beriman bahwa sesungguhnya Allah telah menyempurnakan bagi mereka keimanan dan tidaklah mereka membutuhkan tambahan selama-lamanya dan sungguh Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya selama-lamanya dan sungguh Allah telah meredhoinya dan tidak akan memurkainya selama-lamanya”)
—————————-
(Dikeluarkan oleh Imam as Suyuthi dalam “ad Durrul Mantsur” dari riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir juga diriwayatkan oleh Imam al-Lalaka’i dalam “Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah ” No. 1286)

Sesungguhnya setiap kebaikan jika benar itu adalah sebuah kebaikan maka seluruhnya telah disampaikan oleh nabi Shallallahu’alahi wa sallam tidak ada yang tertinggal sedikitpun :

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ: فَقَالَ صلى الله عليه وسلم «مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ»

Artinya : ( Dari Abu Dzar dia berkata : “Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam telah meninggalkan kami dan tidaklah ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya diudara melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami ilmu tentang hal itu.” Lalu beliau berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam :«Tidak tertinggal satu perkarapun yang dapat mendekatkan diri ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali sungguh telah dijelaskan kepada kalian»)
—————————-
(Dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabir ”(1647) dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, Imam Ahmad (5/153). Lihat “As-Silsilah Ash-Shahihah ” (4/416) No. 1803)

« إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ »

Artinya : (« Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib baginya menunjuki umatnya kepada seluruh kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan memperingati mereka dari segala keburukan yang diketahuinya (akan membahayakan) bagi mereka» )
————————————-
( HR. Imam Muslim : Kitab Al Imarah Bab Wujubil Wafa’i Bai’atil Khulafa-il Awwali Fal Awwalu No. 1844 , Ibnu Majah (2/466-467), Ahmad (2/191) dari jalan al-A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah yang meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin ‘ash. Lihat “As-Silsilah Ash-Shahihah” oleh Imam al-Albani (1/430) hadits No. 241)

Karena itu, setiap tambahan yang datang setelah kesempurnaan agama ini adalah sebuah kebid’ahan dalam agama, siapapun yang melakukannya. Berkata Imam Malik bin Anas Rahimahullahu :

] من ابتدع في الإسلام بدعةً يراها حسنةً, فقد زعم أنّ محمّدا خان الرّسالة, لأنّ الله يقول :} أليوم أكملت لكم دينكم وأتممْت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينًا{, فما لم يكنْ يومئذٍ ديناً, فلا يكون اليومَ ديناً [

Artinya : [“Barangsiapa yang mengadakan suatu kebid’ahan dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : {Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian}, karena itu apa saja yang pada hari itu bukan merupakan agama maka pada hari inipun bukan pula merupakan agama.”]
———————–
(Diriwayatkan oleh Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi dalam “Al-I’tisham ” dari Ibnul Majisyun)

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

Artinya : « “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak” »
—————————-
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (kitab Al-Aqdhiyyah : 1718), Sunan Abu Daud (kitab As-Sunnah : 4606), Sunan Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah :14, Musnad Ahmad bin Hanbal : 6/256)

«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»

Artinya : « “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini suatu perkara yang bukan darinya, maka perkara tersebut tertolak” »
—————————–
(Dikeluarkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahihnya (kitab Ash-Shulhu : 2550), dalam Shahih Muslim (kitab Al-Aqdhiyyah : 1718), Sunan Abu Daud (kitab As-Sunnah : 4606), Sunan Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah :14), Musnad Ahmad bin Hanbal : 6/270 )

Berdasarkan hadits diatas jelaslah bahwa suatu ibadah tertolak dan tidak diterima oleh Allah kecuali ada perintah yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya tentang ibadah tersebut, dan setiap bentuk ibadah yang diada-adakan dalam agama ini padahal tidak ada perintah atau dalil yang memerintahkannya maka ibadah itu adalah bathil dan tertolak. Inilah yang dipahami oleh para Shahabat Nabi serta para ‘Ulama Ahlus Sunnah sepanjang zaman. Sebagaimana perkataan Shahabat yang mulia Hudzaifah Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu :

] كلّ عبادة لم يتعبّد بها أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فلا تتعبّدوا بها [

Artinya : [“Setiap ibadah yang mana para Shahabat Rasulullah tidak pernah beribadah dengan ibadah tersebut, maka janganlah kalian beribadah dengannya.”]
—————————-
(Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Baththah dalam kitabnya “Al Ibanah ” silahkan lihat kitab “Al Wajiz fi ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah” oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari pada pasal “Washaya wa Aqwalu Aimmati Ahlis Sunnah fil Ittiba’ wan Nahyi ‘anil Ibtida’ “)

Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa tidaklah ada satu amalan dan pemahamanpun yang disandarkan kepada agama ini, dimana hal tersebut tidak mempunyai hujjah dan dalil dari Kitabullah dan sunnah yang shahih sebagaimana yang dipahami oleh rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, melainkan hal tersebut tertolak dan keluar dari wilayah agama yang mulia ini. Karena tiada siapapun yang boleh dan berhak memasukkan sesuatu dari pemahaman maupun pengamalan kedalam agama Allah yang mulia ini.

DIANTARA PERKATAAN IMAM-IMAM AHLUS SUNNAH TENTANG MALAM NISHFU SYA’BAN

1. Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy rahimahullah berkata dalam kitabnya, “Al-Hawadits wal Bida”, :

(وروى ابن وضاح عن زيد بن أسلم، قال: ما أدركنا أحداً من مشيختنا ولا فقهائنا يلتفتون إلى النصف من شعبان، ولا يلتفتون إلى حديث مكحول، ولا يرون لها فضلاً على ما سواها(

“Telah meriwayatkan Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam ia berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari guru-guru kami dan tidak pula para ahli fiqih kami yang memberikan perhatian (mengistimewakan) kepada malam Nisfu Sya’ban, dan tidak pula mereka memberikan perhatian kepada hadits dari Makhul (karena dhaifnya) dan tidak pula mereka memandang adanya keutamaan pada malam tersebut dibandingkan malam-malam lainnya.”

Bahkan Imam Ibnu Malikah rahimahullah berniat menghukum orang yang menyebarkan keutamaan palsu tentang malam nishfu sya’ban ini, dimana ketika ada yang meyampaikan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy seorang penceramah berkata:

(إن أجر ليلة النصف من شعبان كأجر ليلة القدر(

“Sesungguhnya pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar”

Ibnu Malikah menjawab:

) لو سمعته وبيدي عصا لضربته)

“Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia”
———————
Riwayat Abu Syamah Al Maqdisi dalam kitabnya “Al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”

2. Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi Al Maliki rahimahullah dalam kitabnya “Ahkamul Qur’an 4/117” mengatakan bahwa:

وليس في ليلة النصف من شعبان حديث يعول عليه،لا في فضلها،ولا في نسخ الآجال فيها،فلا تلتفتوا إليها. انتهى

“Tidak ada satu haditspun yang bisa dijadikan sebagai landasan berkenaan dengan malam Nisfu Syaban baik yang terkait dengan keutamaannya atau yang berkenaan dengan adanya ketentuan ajal yang bisa diubah. Oleh karena itu janganlah kalian menoleh kepadanya.. (abaikan saja hadits-hadits tentang itu).”

3. Berkata Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah :

وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها ……
وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة، وبعضها موضوع

Dan telah datang hadits-hadits dhoif tentang keutamaanya dimana tidak boleh bersandar dengan hadits-hadits tersebut…
… dan bahwa hadits-hadits yang datang terkait keutamaannya seluruhnya dalah dho’if dan sebagiannya palsu.
———————
At Tahdziru minal Bida’ hal.29

4. Hal semakna juga dikatakan oleh Syaikh Al- ‘Utsaimin rahimahullah :

الصحيح أن جميع ما ورد في فضل ليلة النصف من شعبان ضعيف لا تقوم به حجة، ومنها أشياء موضوعة.

Pendapat yang shahih adalah bahwa seluruh riwayat terkait keutamaan malam nishfu sya’ban adalah dhoif (lemah) tidak bisa dijadikan hujjah dan diantara riwayat itu ada yang palsu
—————————
Liqa’ul Bab Al maftuh 115

5. Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah :

حديث: “يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الكتاب وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} عَشْرَ مَرَّاتٍ إِلا قَضَى اللَّهُ له كل حاجة _ إلخ.
هُوَ مَوْضُوعٌ وَفِي أَلْفَاظِهِ الْمُصَرَّحَةِ بِمَا يَنَالُهُ فَاعِلُهَا مِنَ الثَّوَابِ مَا لا يَمْتَرِي إِنْسَانٌ لَهُ تَمْيِيزٌ فِي وَضْعِهِ وَرِجَالُهُ مَجْهُولُونَ. وَقَدْ رَوَى مِنْ طَرِيقٍ ثَانِيَةٍ وَثَالِثَةٍ كُلُّهَا مَوْضُوعَةٌ وَرُوَاتُهَا مَجَاهِيلُ.

Hadits : “Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”

Ini adalah hadits maudhu’(palsu) , dan dalam lafazh-lafazhnya juga terang disebutkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya dengan lafazh yang tidak diragukan kepalsuannya bagi orang yang mampu menilai, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ (palsu) dan perawi-perawinya majhul.

وَقَالَ فِي الْمُخْتَصَرِ: حَدِيثُ: “صَلاةِ نِصْفِ شَعْبَانَ بَاطِلٌ. وَلابْنِ حِبَّانَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ: إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.
ضَعِيفٌ.

Dalam kitab “Al Mukhtashar” )Syaukani( berkata : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Kemudian Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu:

إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا

“Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya“, ini adalah hadits dhaif.

Tambahan :
Hadits diatas dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya no. 1388 telah dinilai oleh sejumlah ulama seperti :
– Imam Ibnul Jauziy : هذا حديث لا يصحُّ (Hadits ini tidak sah) 1
– Hafizh Al-‘Iraqiy : إسناده ضعيف (sanadnya lemah) 2
– Imam Al Albani : ضعيف جدّاً، أو موضوع (Lemah sekali atau Palsu) 3

Sebabnya adalah : dalam sanadnya ada perawi yang bernama ibnu Abi Sabrah, nama aslinya Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Sabrah. Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits, diantara yang menyatakan demikian adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Yahya bin Ma’in dan didhoifkan ia oleh Imam Al Bukhari sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Al-Mizan dan dinyatakan ia oleh Imam An Nasai : Matruk sedangkan Imam Ali bin Al Madini mengatakan bahwa ia Munkarul Hadits)
———————-
1. Al ‘Ilal Al Mutanahiyyah (2/562)
2. Al Mughni ‘an Hamlil Asfar (Takhrij Al Ihya”) (1/157)
3. Silsilah Al Ahadits Al Maudhu’ah no. 2132 , Dhoif Sunan Ibni Majah no. 1388

وَقَدِ اغْتَرَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ جَمَاعَةٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ كَصَاحِبِ الإِحْيَاءِ وَغَيْرِهِ وَكَذَا مِنَ الْمُفَسِّرِينَ وَقَدْ رُوِيَتْ صَلاةُ هَذِهِ اللَّيْلَةِ أَعْنِي لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى أَنْحَاءٍ مُخْتَلِفَةٍ كُلُّهَا بَاطِلَةٌ مَوْضُوعَةٌ

Sungguh telah tertipu segolongan fuqaha’ (dengan hadits-hadits palsu ini), seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin (Imam Al Ghazali) dan lainnya juga demikian pula sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan juga (keutamaan) shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia,maka semuanya adalah bathil/tidak benar dan (haditsnya) adalah maudhu’ (palsu).

————————————-
Alfawaidul Majmu’ah fil Ahaditsil Maudhu’ah ( 1/50-51)

6. Dan menyebutkan Imam As Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Al Laali-ul Mashnu’ah :

مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شعْبَان ثِنْتَيْ عشر رَكْعَةً يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} ثَلاثِينَ مَرَّةً لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ.” مَوْضُوعٌ”

Siapa yang sholat di malam nishfu Sya’ban 12 rakaat dan membaca dalam setiap rakaat Qul huwallahu ahad 30 x maka tidaklah ia keluar (dari dunia) hingga ia melihat tempatnya di syurga
(Lalu beliau mengatakan) : “ Maudhu’ “ (Palsu)
————————–
Al Laali-ul Mashnu’ah fil Ahaditsil Maudhu’ah (2/50)

KESIMPULAN :

Tidak ada satupun hadits yang sah terkait dengan amalan khusus pada malam nishfu sya’ban atau siangnya, semuanya berputar pada derajat dho’if (lemah) atau maudhu’ (palsu) maka tidak boleh beramal dengan hadits-hadits dhoif dan palsu tersebut. Terlebih lagi yang lebih tidak ada lagi dasarnya apa yang tersebar dimedia social hari ini :
Amalan Malam Nishfu Sya’ban :
habis maghrib :
— solat sunah taubat
— solat sunah hajat
Dianjurkan membaca…
– Surah Yasin ( 3x )

Surah Yasin ke .1
“Dibaca untuk memohon kpd Alloh, panjang Umur utk ibadah
yg istiqomah kepada Allah Ta’ala .”

Surah Yasin ke .2
“Dibaca untuk memohon di luaskan Rezeqi yg halal utk bekal ibadah & menolak Bala .”

Surah Yasin ke 3.
“Dibaca untuk memohon ditetapkannya Iman Islam hingga Akhir hayat & husnul khotimah.
dilanjut membaca doa nisfu sya’ban.
Berdo’alah secara khusyu’ … meminta apa apa yg tersirat dalam hati.

Amalan diatas adalah sebuah kedustaan atas nama agama Allah, dan merupakan perbuatan bid’ah yang munkar dimana Allah yang membuat syariat ini tidak pernah mensyariatkan amalan tersebut dan menjanjikan khasiat atau faedah sebagaimana yang disebutkan.Terlarang bagi setiap muslim untuk menyebarkan kedustaan seperti ini.

Adapun terkait dengan orang yang beribadah dimalam nishfu sya’ban ini, maka terbagi kepada tiga golongan :

1. Orang yang beribadah dengan amalan-amalan yang disyariatkan sebagaimana menjadi kebiasaannya ia beribadah dimalam-malam yang lain.

Ini hukumnya boleh tanpa diragukan.

2. Orang yang beribadah dengan ‘amalan yang disyariatkan seperti sholat tahajjud,membaca Al Quran yang ia khususkan dimalam itu sedangkan diamalam yang lain ia tidak melakukannya.

Ini hukumnya menyelisihi sunnah dari sisi ia membuat sebuah sebab yang tidak di syariatkan Allah meskipun amalannya adalah amalan yang sesuai sunnah secara dzat ibadahnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ «

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan suatu shalat tanpa malam-malam lainnya, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa tanpa hari-hari lainnya, kecuali jika hari itu bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang di antara kalian.”
————————–
Hadits Riwayat. Muslim No. 1144

3. Orang yang beribadah dengan amalan-amalan yang khusus yang diada-adakan .

Ini hukumnya jelas terlarang dan ini termasuk Bid’ah Munkarat yang wajib bagi kita untuk meninggalkannya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan”
——————-
HR. Muslim no. 867

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata :

«اقْتِصَادٌ فِي سُنَّةٍ، خَيْرٌ مِنَ اجْتِهَادٍ فِي بِدْعَةٍ»

“Sederhana dalam as-sunnah (sedikit beramal sesuai sunnah) lebih baik daripada bersungguh-sungguh didalam bid’ah”.
——————–
Riwayat Imam Ibnu Baththah dalam kitabnya Al Ibanah Al Kubra No. 247

Billahit Taufiq Wal Hidayah

Download Bantahan Terhadap Orang-Orang yang Membuat Amalan Bid’Ah di Malam Nishfu Sya’ban

Related Posts

Leave a Reply

× Hubungi Kami di Whatsapp